Aku
mengayuh sepedaku dengan lesu. Yang ada di pikiranku kini hanyalah
pembicaraanku seminggu yang lalu dengan Ayah dan Ibuku. Ingin ku menangis
teringat itu semua.
***
“Ra,
kamu tahu betapa sibuknya Ayah. Kamu harus memaklumi pekerjaan Ayah.” kata
Ayah. Ibuku hanya menatapku tanpa berbicara.
“Memangnya
ada apa, Yah, Bu?” tanyaku penasaran. Tapi aku sudah mulai bisa menebak apa
yang dimaksudkan ayah. “Apakah kita akan pindah lagi?”
Ayah
dan Ibu mengangguk pelan.
“Tidak,
Yah. Enam kali sudah kita pindah. Aku sudah bosan dengan hal ini. Aku ingin
merasakan hidup menetap, tidak berubah-ubah tiap tahunnya. Aku tak mau
meninggalkan rumah ini, SMP-ku yang begitu hebat, dan teman-teman yang
menyayangiku. Aku tak mau, Yah. Kumohon, aku ingin kita tinggal di sini sampai
aku lulus SMP nanti.” Air mataku mulai menetes.
“Kita
harus pindah, Ra. Karena, beginilah pekerjaan Ayah. Ayah harus mengurusi
perusahaan Ayah yang menyebar di berbagai kota.” jelas Ayah.
Kutatap
Ibu, berharap Ibu mau membelaku. Namun, Ibu hanya menggeleng sambil berkata,
“Ikuti saja, Ra.”
Aku
bertambah sedih saat tahu Ibu tidak membelaku. Kudorong kursi makanku ke
belakang dengan kaki. Aku berdiri. Tanpa menatap kedua orang tuaku, aku
langsung berjalan pergi ke kamarku.