2013-01-20

The Last Memory

THE LAST MEMORY
Cerpen karya Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
Aku mengayuh sepedaku dengan lesu. Yang ada di pikiranku kini hanyalah pembicaraanku seminggu yang lalu dengan Ayah dan Ibuku. Ingin ku menangis teringat itu semua.
***
“Ra, kamu tahu betapa sibuknya Ayah. Kamu harus memaklumi pekerjaan Ayah.” kata Ayah. Ibuku hanya menatapku tanpa berbicara.
“Memangnya ada apa, Yah, Bu?” tanyaku penasaran. Tapi aku sudah mulai bisa menebak apa yang dimaksudkan ayah. “Apakah kita akan pindah lagi?”
Ayah dan Ibu mengangguk pelan.
“Tidak, Yah. Enam kali sudah kita pindah. Aku sudah bosan dengan hal ini. Aku ingin merasakan hidup menetap, tidak berubah-ubah tiap tahunnya. Aku tak mau meninggalkan rumah ini, SMP-ku yang begitu hebat, dan teman-teman yang menyayangiku. Aku tak mau, Yah. Kumohon, aku ingin kita tinggal di sini sampai aku lulus SMP nanti.” Air mataku mulai menetes.
“Kita harus pindah, Ra. Karena, beginilah pekerjaan Ayah. Ayah harus mengurusi perusahaan Ayah yang menyebar di berbagai kota.” jelas Ayah.
Kutatap Ibu, berharap Ibu mau membelaku. Namun, Ibu hanya menggeleng sambil berkata, “Ikuti saja, Ra.”
Aku bertambah sedih saat tahu Ibu tidak membelaku. Kudorong kursi makanku ke belakang dengan kaki. Aku berdiri. Tanpa menatap kedua orang tuaku, aku langsung berjalan pergi ke kamarku.

***
Kuparkirkan sepedaku di tempat parkir sepeda sekolah. Hatiku masih bersedih. Bagaimana tidak? Hari ini adalah hari terakhirku bersekolah di SMP Bina Bangsa. Hari ini juga terakhir kalinya aku melihat teman-temanku. Namun, walau hari ini adalah hari terakhirku bersekolah di sini, aku masih belum memberitahukan kepindahanku kepada teman-temanku. Rencananya, aku akan memberitahu mereka hari ini.
Kulangkahkan kakiku memasuki kelasku tercinta, 8B. Kuletakkan tasku di kursi kemudian aku duduk. Kupandang sekelilingku, berharap kelas ini akan selalu kuingat di memoriku.
Teeet ...!!!
Bel masuk terasa cepat sekali berbunyi. Ya, aku memang sengaja berangkat lebih siang. Bahkan, hari ini aku sama sekali tidak ada mood untuk berangkat ke sekolah.
Kupandangi sekelilingku lagi. Dimanakah Mira?
Mira adalah sahabatku di SMP Bina Bangsa ini. Aku sangat dekat dengannya. Ialah yang membuatku bertahan di sekolah ini.
“Mira,” bisikku kepada Mira yang baru saja duduk di barisan depanku. Ia hanya diam, tanpa sepatah katapun.
Ada apa ini? gumamku. “Mira,” aku berbisik kepada Mira lagi. Sunyi, tak ada jawaban. Kucoba berbisik kepada temanku yang lain. Namun, semua sama saja, sunyi.
Aku terheran. Apakah mereka marah? Apa salahku? Kenapa? Kenapa harus di saat terakhirku bersekolah di sini? Seharusnya hari ini menjadi kenangan terakhirku yang menyenangkan. Namun, ini semua sangatlah pahit.
Lamunanku buyar saat Pak Roni, guru matematika paling menyeramkan yang juga wali kelasku masuk ke kelasku. Ia meletakkan setumpuk buku tebal di meja guru. “Anak-anak, keluarkan PR-nya!”
PR? PR apa? Seingatku tidak ada PR.
Kupandangi sekelilingku. Semua tampak seudah mengerjakan PR. Tapi PR apa?!
“Bagi yang merasa tidak mengerjakan PR, harap keluar sekarang juga!”
Aku terkejut. Tapi, mau apa lagi? Dengan sedih aku berjalan keluar kelas, sendiri. Tak ada satu pun murid yang tidak mengerjakan PR seperti aku.
Aku duduk di balkon depan kelas. Begitu aku duduk, pintu kelas pun ditutup. Ingin rasanya ku menangis. Mungkin sebaiknya aku tidak memberitahukan teman-teman soal kepindahanku. Biarlah mereka tak tahu, karena mereka juga tak butuh itu.
Pikiranku beku. Air mataku meleleh. Tak terasa, setengah jam sudah aku menangis. Sampai akhirnya, terdengar seseorang memanggil namaku beberapa kali. Kuusap air mataku. Karena penasaran, akhirnya kubuka pintu kelas yang tertutup. Dan tiba-tiba …,
“HAPPY BIRTHDAY TO YOU …. HAPPY BIRTHDAY TO YOU …. HAPPY BIRTHDAY …. HAPPY BIRTHDAY …. HAPPY BIRTHDAY TO YOU …!!!”
Aku terkejut. Seluruh teman-temanku dan guruku merayakan ulang tahunku! Aku sendiri bahkan lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku. Tak terasa, air mataku mengalir lagi.
Mira dan beberapa teman-temanku berjalan ke arahku sambil membawa sepotong kue blackforest yang merupakan kue kesukaanku. Di atas kue tersebut terdapat dua buah lilin yang berbentuk angka ‘1’ dan ‘4’. Angka tersebut menunjukkan bahwa usiaku sekarang adalah 14 tahun.
“TIUP LILINNYA …. TIUP LILINNYA …. TEIUP LILINNYA SEKARANG JUGA …. SEKARANG JUGA …. SEKARANG JUGA …!!!”
Ffft ….
Kutiup lilin tersebut. Aku merasa seperti anak kecil lagi. Namun, aku merasa sangat sangat sangat dan sangat bahagia.
Kupeluk Mira, lalu kupeluk juga teman-teman perempuanku yang lain. “Terima kasih, semua. Aku akan selalu mengingat ini.”
“Iya.” jawab Mira. Sedangkan teman-teman yang lain hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Rara, maafkan Bapak karena Bapak tadi sudah menyuruhmu keluar.” kata Pak Roni. “Itu semua atas inisiatif teman-temanmu.”
“Jadi, yang tadi itu hanya sandiwara?”
“Iya, Ra.” jawab Mira sambil tersenyum. Teman-teman yang lain juga ikut tersenyum, bahkan ada yang tertawa. “Maafkan kami, ya! Lagipula, sebenarnya tidak ada PR, kok. Kamu, kan, rajin. Jadi, mana mungkin kamu tidak mengerjakan PR.”
Aku ikut tersenyum. “Tidak apa-apa. Tapi mungkin saja, kok. Aku, kan, hanya manusia biasa.”
“Hahaha ….” Seisi kelas tertawa.
“Kuharap, kita semua bisa tertawa bersama seperti ini untuk selamanya.” andai Mira.
Selamanya?! Kepalaku tertunduk. Bagaimana mungkin bisa selamanya? Sedangkan hari ini adalah hari terakhirku bersekolah di sini.
“Mira, teman-teman, sebenarnya ada sesuatu yang ingin kukatakan kepada kalian.”
“Katakan saja, Sahabat.” sahut Mira.
“Ya, katakan saja.” sahut teman-teman lainnya.
“Sebenarnya, hari ini adalah hari terakhirku bersekolah di sini. Mulai besok, aku akan pindah ke kota lain, bahkan provinsi lain.”
Seluruh teman-temanku terdiam tak percaya.
“Kau akan tinggalkanku?” tanya Mira sambil berlinangan air mata.
Aku mengangguk pelan. Air mataku yang baru saja berhenti mengalir kini harus mengalir lagi.
Mira memelukku. “Oh, Sahabat, inikah akhir dari persahabatan kita?”
Aku mengangguk lebih pelan dari sebelumnya, tentu saja karena aku tidak kuat.
Mira memelukku semakin erat. Beberapa orang temanku ikut memelukku.
Kelas 8B yang awalnya dipenuhi tawa, kini harus tergantikan oleh air mata kehilangan. Kehilangan memanglah sangat menyakitkan, terutama jika kehilangan seorang ‘SAHABAT’.
Walau begitu, aku akan berusaha untuk tidak melupakan kalian. Aku akan berusaha mengingat segala kenangan kita, termasuk kenangan terakhir ini. “Selamat tinggal, Kawan!” 

Cerpen oleh Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
 
                      
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar