Aku
mengayuh sepedaku dengan lesu. Yang ada di pikiranku kini hanyalah
pembicaraanku seminggu yang lalu dengan Ayah dan Ibuku. Ingin ku menangis
teringat itu semua.
***
“Ra,
kamu tahu betapa sibuknya Ayah. Kamu harus memaklumi pekerjaan Ayah.” kata
Ayah. Ibuku hanya menatapku tanpa berbicara.
“Memangnya
ada apa, Yah, Bu?” tanyaku penasaran. Tapi aku sudah mulai bisa menebak apa
yang dimaksudkan ayah. “Apakah kita akan pindah lagi?”
Ayah
dan Ibu mengangguk pelan.
“Tidak,
Yah. Enam kali sudah kita pindah. Aku sudah bosan dengan hal ini. Aku ingin
merasakan hidup menetap, tidak berubah-ubah tiap tahunnya. Aku tak mau
meninggalkan rumah ini, SMP-ku yang begitu hebat, dan teman-teman yang
menyayangiku. Aku tak mau, Yah. Kumohon, aku ingin kita tinggal di sini sampai
aku lulus SMP nanti.” Air mataku mulai menetes.
“Kita
harus pindah, Ra. Karena, beginilah pekerjaan Ayah. Ayah harus mengurusi
perusahaan Ayah yang menyebar di berbagai kota.” jelas Ayah.
Kutatap
Ibu, berharap Ibu mau membelaku. Namun, Ibu hanya menggeleng sambil berkata,
“Ikuti saja, Ra.”
Aku
bertambah sedih saat tahu Ibu tidak membelaku. Kudorong kursi makanku ke
belakang dengan kaki. Aku berdiri. Tanpa menatap kedua orang tuaku, aku
langsung berjalan pergi ke kamarku.
Kuparkirkan
sepedaku di tempat parkir sepeda sekolah. Hatiku masih bersedih. Bagaimana
tidak? Hari ini adalah hari terakhirku bersekolah di SMP Bina Bangsa. Hari ini
juga terakhir kalinya aku melihat teman-temanku. Namun, walau hari ini adalah
hari terakhirku bersekolah di sini, aku masih belum memberitahukan kepindahanku
kepada teman-temanku. Rencananya, aku akan memberitahu mereka hari ini.
Kulangkahkan
kakiku memasuki kelasku tercinta, 8B. Kuletakkan tasku di kursi kemudian aku
duduk. Kupandang sekelilingku, berharap kelas ini akan selalu kuingat di
memoriku.
Teeet ...!!!
Bel
masuk terasa cepat sekali berbunyi. Ya, aku memang sengaja berangkat lebih
siang. Bahkan, hari ini aku sama sekali tidak ada mood untuk berangkat ke sekolah.
Kupandangi
sekelilingku lagi. Dimanakah Mira?
Mira
adalah sahabatku di SMP Bina Bangsa ini. Aku sangat dekat dengannya. Ialah yang
membuatku bertahan di sekolah ini.
“Mira,”
bisikku kepada Mira yang baru saja duduk di barisan depanku. Ia hanya diam,
tanpa sepatah katapun.
Ada apa ini? gumamku.
“Mira,” aku berbisik kepada Mira lagi. Sunyi, tak ada jawaban. Kucoba berbisik
kepada temanku yang lain. Namun, semua sama saja, sunyi.
Aku
terheran. Apakah mereka marah? Apa
salahku? Kenapa? Kenapa harus di saat terakhirku bersekolah di sini? Seharusnya
hari ini menjadi kenangan terakhirku yang menyenangkan. Namun, ini semua sangatlah
pahit.
Lamunanku
buyar saat Pak Roni, guru matematika paling menyeramkan yang juga wali kelasku masuk
ke kelasku. Ia meletakkan setumpuk buku tebal di meja guru. “Anak-anak,
keluarkan PR-nya!”
PR? PR apa? Seingatku tidak ada PR.
Kupandangi
sekelilingku. Semua tampak seudah
mengerjakan PR. Tapi PR apa?!
“Bagi
yang merasa tidak mengerjakan PR, harap keluar sekarang juga!”
Aku
terkejut. Tapi, mau apa lagi? Dengan sedih aku berjalan keluar kelas, sendiri.
Tak ada satu pun murid yang tidak mengerjakan PR seperti aku.
Aku
duduk di balkon depan kelas. Begitu aku duduk, pintu kelas pun ditutup. Ingin
rasanya ku menangis. Mungkin sebaiknya
aku tidak memberitahukan teman-teman soal kepindahanku. Biarlah mereka tak
tahu, karena mereka juga tak butuh itu.
Pikiranku
beku. Air mataku meleleh. Tak terasa, setengah jam sudah aku menangis. Sampai
akhirnya, terdengar seseorang memanggil namaku beberapa kali. Kuusap air
mataku. Karena penasaran, akhirnya kubuka pintu kelas yang tertutup. Dan
tiba-tiba …,
“HAPPY
BIRTHDAY TO YOU …. HAPPY BIRTHDAY TO YOU …. HAPPY BIRTHDAY …. HAPPY BIRTHDAY ….
HAPPY BIRTHDAY TO YOU …!!!”
Aku
terkejut. Seluruh teman-temanku dan guruku merayakan ulang tahunku! Aku sendiri
bahkan lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku. Tak terasa, air mataku
mengalir lagi.
Mira
dan beberapa teman-temanku berjalan ke arahku sambil membawa sepotong kue blackforest yang merupakan kue
kesukaanku. Di atas kue tersebut terdapat dua buah lilin yang berbentuk angka
‘1’ dan ‘4’. Angka tersebut menunjukkan bahwa usiaku sekarang adalah 14 tahun.
“TIUP
LILINNYA …. TIUP LILINNYA …. TEIUP LILINNYA SEKARANG JUGA …. SEKARANG JUGA ….
SEKARANG JUGA …!!!”
Ffft ….
Kutiup
lilin tersebut. Aku merasa seperti anak kecil lagi. Namun, aku merasa sangat
sangat sangat dan sangat bahagia.
Kupeluk Mira, lalu kupeluk juga teman-teman
perempuanku yang lain. “Terima kasih, semua. Aku akan selalu mengingat ini.”
“Iya.” jawab Mira. Sedangkan teman-teman yang lain
hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Rara, maafkan Bapak karena Bapak tadi sudah
menyuruhmu keluar.” kata Pak Roni. “Itu semua atas inisiatif teman-temanmu.”
“Jadi, yang tadi itu hanya sandiwara?”
“Iya, Ra.” jawab Mira sambil tersenyum. Teman-teman
yang lain juga ikut tersenyum, bahkan ada yang tertawa. “Maafkan kami, ya!
Lagipula, sebenarnya tidak ada PR, kok. Kamu, kan, rajin. Jadi, mana mungkin
kamu tidak mengerjakan PR.”
Aku ikut tersenyum. “Tidak apa-apa. Tapi mungkin
saja, kok. Aku, kan, hanya manusia biasa.”
“Hahaha ….” Seisi kelas tertawa.
“Kuharap, kita semua bisa tertawa bersama seperti
ini untuk selamanya.” andai Mira.
Selamanya?! Kepalaku
tertunduk. Bagaimana mungkin bisa selamanya? Sedangkan hari ini adalah hari
terakhirku bersekolah di sini.
“Mira, teman-teman, sebenarnya ada sesuatu yang
ingin kukatakan kepada kalian.”
“Katakan saja, Sahabat.” sahut Mira.
“Ya, katakan saja.” sahut teman-teman lainnya.
“Sebenarnya, hari ini adalah hari terakhirku
bersekolah di sini. Mulai besok, aku akan pindah ke kota lain, bahkan provinsi
lain.”
Seluruh teman-temanku terdiam tak percaya.
“Kau akan tinggalkanku?” tanya Mira sambil
berlinangan air mata.
Aku mengangguk pelan. Air mataku yang baru saja
berhenti mengalir kini harus mengalir lagi.
Mira memelukku. “Oh, Sahabat, inikah akhir dari
persahabatan kita?”
Aku mengangguk lebih pelan dari sebelumnya, tentu
saja karena aku tidak kuat.
Mira memelukku semakin erat. Beberapa orang temanku
ikut memelukku.
Kelas 8B yang awalnya dipenuhi tawa, kini harus
tergantikan oleh air mata kehilangan. Kehilangan memanglah sangat menyakitkan,
terutama jika kehilangan seorang ‘SAHABAT’.
Walau begitu, aku akan berusaha untuk tidak
melupakan kalian. Aku akan berusaha mengingat segala kenangan kita, termasuk
kenangan terakhir ini. “Selamat tinggal, Kawan!”
Cerpen oleh Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar