BULAN YANG SAMA
Cerpen karya Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
Udara terasa cukup
dingin untuk kakiku yang masih lengket. Entah mengapa kali ini terasa berat
untuk memulai hari di sekolah baruku. Ya, kini aku telah sah menjadi murid SMA.
Status murid SMP sudah aku lepas sejak beberapa minggu yang lalu. Saat ini yang
harus aku jalani adalah hidup dengan rok abu-abu dan segala hal berbau SMA yang
konon menyenangkan. Aku merasa masih belum siap. Aku rindu dengan kehidupanku
yang lalu.
Aku mencoba untuk
menghilangkan perasaan tidak betahku.
Bagaimanapun juga, aku harus menyukai tempat belajarku yang baru dan mulai
beradaptasi dengan hawa yang berbeda. Lingkungan baru, guru dengan metode
pembelajaran yang bervariasi serta tentunya teman-teman baru, atau mungkin
sahabat baru.
Tiba-tiba, pikiranku
melayang ke sahabatku saat di SMP dan aku berharap ia akan tetap menjadi
sahabatku selamanya. Kami terpisah karena sekolah kami yang berbeda. Ia
mengikuti permintaan orang tuanya untuk bersekolah di luar kota yang notabennya
adalah asrama. Sedangkan aku? Ya, di sinilah aku. Aku belum siap untuk
meninggalkan rumah tersayang sehingga aku tetap berada di kampung halamanku.
“Bruuuk
….”
Seketika lamunanku
buyar. Aku melihat buku-bukuku berserakan di tanah. Orang yang ada di sampingku
dengan segera mengambilkan kepunyaanku tersebut. Aku hanya diam, seperti belum
sadar sepenuhnya dari pikiranku yang berkelana.
“Maaf, ya,” tukas
seseorang tersebut. Ia memberikan barang yang ia pungut kepadaku. Aku mulai
menebak-nebak bahwa dia adalah kakak kelas. “Awas, jangan melamun terus.”
Seperti mendapat
tamparan keras yang tidak menyakitkan, aku langsung tersadar. Kali ini
benar-benar ‘sadar’. Kakak kelas tersebut terkikik lalu berlalu.
Aku mendapati diriku
telah berada di kelasku yang baru, X-Akselerasi. Setelah menjalani Masa
Orientasi Siswa selama 3 hari, memang benar aku sudah mulai mengenal seluk
beluk sekolah ini. Aku juga sudah cukup akrab terhadap teman-temanku yang baru,
namun tetap saja ada yang terasa berbeda.
“Pagi, Rahma!” seru
Gilang. Ia memang sering berangkat paling awal. Aku mulai berpikir mengapa ia
bersemangat sekali untuk bersekolah. Aku tertawa kecil setiap kali
memikirkannya.
Aku tersenyum riang.
“Pagi.”
Kami berjalan bersama
ke luar kelas, menunggu teman-teman yang lain datang. Aku merasa lebih baik
setelah berbincang dan bercanda dengannya, layaknya sudah hilang ingatan akan
pikiran yang lalu. Satu per satu teman-temanku mulai berdatangan. Kami
berkumpul, membicarakan hal-hal yang begitu luas dan menyenangkan. Aku mulai
larut dalam pembicaraan tersebut hingga bunyi bel membubarkan ‘perkumpulan’
kami.
Seperti biasa, awal
pertemuan diisi dengan perkenalan. Perlahan-lahan, kami semakin akrab dan
semakin rekat. Aku bisa merasakan itu. Rasa nyaman mulai tumbuh di lubuk
kecilku.
Hari ini terasa begitu
kontras dengan rasa malas pagi tadi. Aku merasa benar-benar bersemangat.
Mungkin inilah yang sering disebut orang-orang dengan istilah ‘labil’.
Mendadak pengingat
kecil dalam otakku memberitahukan bahwa aku harus ke SMP untuk mengambil ijazah
pada siang nanti. Secepat kilat, perasaanku berubah. Aku benar-benar merindukan
sahabatku. Kuharap aku bisa bertemu dengannya nanti.
Aku terlalu sibuk
dengan dunia baruku, yang awalnya kuanggap tidak menyenangkan. Tak kusadari
bahwa waktu berlalu begitu cepat. Bel pulang sekolahlah yang mengingatkanku
untuk berkemas. Dengan perasaan campur aduk, aku memberanikan diri untuk
bersegera ke SMP bersama teman-teman angkatanku dulu.
Kami telah tiba di
gerbang SMP. Ingin rasanya aku tetap berada di sini, namun apakah tidak ada
kehidupan lain selain di sini? Tentu ada dan aku harus berjuang untuk mencapai
asaku.
Kulangkahkan kaki
menuju ruang Tata Usaha, dimana di situlah tempat pengambilan ijazah. Tujuan
utama telah beres. Dengan gembira,
aku berlari ke kantin. Firasatku mengatakan bahwa di sana ada seseorang yang
kuharapkan.
Benar saja. Sahabatku,
Nurul, sedang duduk menyeruput segelas es teh. Ia melihatku dengan
berkaca-kaca, begitu pula aku. Aku langsung memeluknya, begitu erat, hingga
rasa kangen menguap.
Kami tertawa bersama.
Menceritakan hal-hal menarik dari sekolah baru kami. Terlebih lagi dengan
sekolahnya yang berbeda dengan sekolahku. Aku menyimak dengan sungguh-sungguh
apa yang ia utarakan hingga seperti dapat melihat secara langsung apa yang ia
alami.
Segala keceriaan ini
justru semakin lama semakin membuatku rindu dengannya. Aku mulai menyampaikan
apa yang aku rasakan. Ternyata ia juga merasakan apa yang aku rasakan.
Tak kusangka ia
menangis. Sebenarnya, ia belum kuat berada di sekolah barunya. Peraturan di
sekolahnya yang cukup ketat membuat kami semakin jarang berkomunikasi. Ia juga
dilarang untuk pulang ke rumahnys selama sebulan pertama di asrama. Aku bisa
merasakan betapa terkekangnya dia. Ia hanya ingin membahagiakan orang tuanya
sehingga ia menuruti apa yang orang tuanya minta meskipun tidak sesuai dengan
apa yang ia inginkan.
Air mataku mulai menetes
seiring dengan semakin larutnya aku dalam pembicaraan.
“Kau tahu, Nurul, aku
belum menemukan sahabat sepertimu.”
Nurul tersenyum sambil
mengusap air matanya yang masih menetes. “Dan aku pun begitu. Namun aku
berharap posisimu sebagai sahabatku tidak akan pernah digantikan, selamanya.”
Aku sangat tersentuh akan
perkataannya. Ia benar, aku tak perlu bersusah payah untuk mencari sahabat
sepertinya. Karena, setiap orang punya posisi tersendiri bagi orang lain.
Hatiku mulai tenang akan kegelisahanku tentang ‘menemukan sahabat baru’ di SMA.
“Hey, Rahma, pernahkah
kau dihukum untuk menari di depan kelas?”
Aku tertawa kecil. “Dan
itu terjadi kepadamu?”
“Kau harus percaya,
bahwa aku menarikan tarian kesukaan kita di depan kelas.” Ia tertawa lepas. Aku
masih bisa melihat sorot kesedihan di matanya, namun seperti ada kekuatan
tersendiri yang membuatnya bisa terus bertahan.
Aku beranjak dari
dudukku dan langsung menari Sorry, Sorry
andalan kami. Ia ikut berjoget. Kami
tidak memedulikan perhatian yang tertuju kepada kami. Kami terus, terus dan
terus menari. Hal tersebut merupakana momen yang sangat menyenangkan.
Rasa letih mulai
muncul. Kami masih terbahak-bahak melihat tingkah kami. Aku merasa hidup kembali.
Sahabatku, ia adalah penyemangatku.
“Kali ini aku traktir,”
Kutinggalkan ia di meja
pojok. Aku memesan beberapa menu untuk kami. Sekitar lima menit kemudian, aku
kembali dengan membawa beberapa camilan.
Kami menghabiskan
seluruh makanan dan minuman yang ada di meja dengan bersemangat. Aku tak
menyangka masih bisa makan bersamanya, setelah beberapa minggu tidak bertemu
dengannya. Ia tampak berseri-seri, entah apa yang membuatnya begitu, seperti
ada hal yang ia sembunyikan. Tetapi perutku terlalu lapar untuk menanyakannya.
Aku melirik Nurul yang
sedang melihat jam tangannya. “Inikah waktunya berpisah?”
Nurul hanya tersenyum
kuat. “Terima kasih, Rahma. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya
membalas kebaikanmu sebagai sahabatku. Maukah kau beritahukan bagaimana
caranya?”
Aku berpikir sejenak.
“Dengan tetap menjadi sahabatku.”
Nurul menatapku hangat.
“Terima kasih,” lirihnya.
Ia berlalu sambil
melambaikan tangan. Aku membalasnya dengan hal yang sama. Berat rasanya untuk
membiarkan ia kembali ke asrama. Namun inilah jalan yang harus kami ambil demi
teraihnya impian kami.
Aku menghela napas
pendek. Saat ini adalah giliranku untuk pergi. Aku menunggu jemputan di gerbang sekolah. Langit
mulai sore. Kepulanganku ke rumah diselimuti senja yang menjelang.
Kini langit hitam telah
muncul. Aku kembali teringat kenangan manisku tadi. Pikiranku langsung terpusat
kepada apa yang Nurul lakukan saat aku meninggalkannya untuk memesan makanan.
Aku melihatnya seperti memasukkan sesuatu ke dalam tasku. Dengan rasa penasaran,
kubuka tasku dan kutemukan sepucuk surat yang tidak aku ketahui sebelumnya.
Dear
Rahma,
Aku
begitu bersyukur atas apa yang aku terima selama ini, termasuk kenyataan bahwa
aku adalah sahabatmu, bukan? Kuharap akan seperti itu sampai kapan pun. Aku juga
bersyukur karena kau telah hadir dalam hidupku, memberikan aku semangat serta
kaulah orang yang mau mendengarkanku. Aku merasa bahwa aku adalah manusia
paling beruntung di muka bumi ini.
Apakah
kau merindukanku, Rahma? Aku tidak ingin mengetahui bahwa kau tidak
merindukanku karena aku benar-benar merindukanmu. Bila benar kau merindukanku,
maka lihatlah bulan yang bersinar dalam gelapnya malam dan aku juga akan
melihatnya. Meskipun jarak memisahkan kita, namun kita masih bisa berbagi bulan
yang sama.
Jangan
lupakan aku, ya ….
Salam
manis,
Nurul
Air mataku menetes saat
membaca surat tersebut. Aku tidak tahu harus berucap apa. Kugenggam sehelai
kertas tersebut dengan haru. Kusapukan pandangan ke langit malam. Ya, ada bulan
yang setia menemani kegelapan. Aku terus memandanginya, berharap Nurul juga
melakukan hal yang sama. Karena aku percaya bahwa kami sedang berbagi bulan
yang sama.
Cerpen karya Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar