2014-01-10

Bulan yang Sama


BULAN YANG SAMA
Cerpen karya Rahma Ayuningtyas Fachrunisa
 
Udara terasa cukup dingin untuk kakiku yang masih lengket. Entah mengapa kali ini terasa berat untuk memulai hari di sekolah baruku. Ya, kini aku telah sah menjadi murid SMA. Status murid SMP sudah aku lepas sejak beberapa minggu yang lalu. Saat ini yang harus aku jalani adalah hidup dengan rok abu-abu dan segala hal berbau SMA yang konon menyenangkan. Aku merasa masih belum siap. Aku rindu dengan kehidupanku yang lalu.
Aku mencoba untuk menghilangkan perasaan tidak betahku. Bagaimanapun juga, aku harus menyukai tempat belajarku yang baru dan mulai beradaptasi dengan hawa yang berbeda. Lingkungan baru, guru dengan metode pembelajaran yang bervariasi serta tentunya teman-teman baru, atau mungkin sahabat baru.
Tiba-tiba, pikiranku melayang ke sahabatku saat di SMP dan aku berharap ia akan tetap menjadi sahabatku selamanya. Kami terpisah karena sekolah kami yang berbeda. Ia mengikuti permintaan orang tuanya untuk bersekolah di luar kota yang notabennya adalah asrama. Sedangkan aku? Ya, di sinilah aku. Aku belum siap untuk meninggalkan rumah tersayang sehingga aku tetap berada di kampung halamanku.
“Bruuuk ….”
Seketika lamunanku buyar. Aku melihat buku-bukuku berserakan di tanah. Orang yang ada di sampingku dengan segera mengambilkan kepunyaanku tersebut. Aku hanya diam, seperti belum sadar sepenuhnya dari pikiranku yang berkelana.
“Maaf, ya,” tukas seseorang tersebut. Ia memberikan barang yang ia pungut kepadaku. Aku mulai menebak-nebak bahwa dia adalah kakak kelas. “Awas, jangan melamun terus.”
Seperti mendapat tamparan keras yang tidak menyakitkan, aku langsung tersadar. Kali ini benar-benar ‘sadar’. Kakak kelas tersebut terkikik lalu berlalu.
Aku mendapati diriku telah berada di kelasku yang baru, X-Akselerasi. Setelah menjalani Masa Orientasi Siswa selama 3 hari, memang benar aku sudah mulai mengenal seluk beluk sekolah ini. Aku juga sudah cukup akrab terhadap teman-temanku yang baru, namun tetap saja ada yang terasa berbeda.
“Pagi, Rahma!” seru Gilang. Ia memang sering berangkat paling awal. Aku mulai berpikir mengapa ia bersemangat sekali untuk bersekolah. Aku tertawa kecil setiap kali memikirkannya.
Aku tersenyum riang. “Pagi.”
Kami berjalan bersama ke luar kelas, menunggu teman-teman yang lain datang. Aku merasa lebih baik setelah berbincang dan bercanda dengannya, layaknya sudah hilang ingatan akan pikiran yang lalu. Satu per satu teman-temanku mulai berdatangan. Kami berkumpul, membicarakan hal-hal yang begitu luas dan menyenangkan. Aku mulai larut dalam pembicaraan tersebut hingga bunyi bel membubarkan ‘perkumpulan’ kami.
Seperti biasa, awal pertemuan diisi dengan perkenalan. Perlahan-lahan, kami semakin akrab dan semakin rekat. Aku bisa merasakan itu. Rasa nyaman mulai tumbuh di lubuk kecilku.
Hari ini terasa begitu kontras dengan rasa malas pagi tadi. Aku merasa benar-benar bersemangat. Mungkin inilah yang sering disebut orang-orang dengan istilah ‘labil’.
Mendadak pengingat kecil dalam otakku memberitahukan bahwa aku harus ke SMP untuk mengambil ijazah pada siang nanti. Secepat kilat, perasaanku berubah. Aku benar-benar merindukan sahabatku. Kuharap aku bisa bertemu dengannya nanti.


Aku terlalu sibuk dengan dunia baruku, yang awalnya kuanggap tidak menyenangkan. Tak kusadari bahwa waktu berlalu begitu cepat. Bel pulang sekolahlah yang mengingatkanku untuk berkemas. Dengan perasaan campur aduk, aku memberanikan diri untuk bersegera ke SMP bersama teman-teman angkatanku dulu.
Kami telah tiba di gerbang SMP. Ingin rasanya aku tetap berada di sini, namun apakah tidak ada kehidupan lain selain di sini? Tentu ada dan aku harus berjuang untuk mencapai asaku.
Kulangkahkan kaki menuju ruang Tata Usaha, dimana di situlah tempat pengambilan ijazah. Tujuan utama telah beres. Dengan gembira, aku berlari ke kantin. Firasatku mengatakan bahwa di sana ada seseorang yang kuharapkan.
Benar saja. Sahabatku, Nurul, sedang duduk menyeruput segelas es teh. Ia melihatku dengan berkaca-kaca, begitu pula aku. Aku langsung memeluknya, begitu erat, hingga rasa kangen menguap.
Kami tertawa bersama. Menceritakan hal-hal menarik dari sekolah baru kami. Terlebih lagi dengan sekolahnya yang berbeda dengan sekolahku. Aku menyimak dengan sungguh-sungguh apa yang ia utarakan hingga seperti dapat melihat secara langsung apa yang ia alami.
Segala keceriaan ini justru semakin lama semakin membuatku rindu dengannya. Aku mulai menyampaikan apa yang aku rasakan. Ternyata ia juga merasakan apa yang aku rasakan.
Tak kusangka ia menangis. Sebenarnya, ia belum kuat berada di sekolah barunya. Peraturan di sekolahnya yang cukup ketat membuat kami semakin jarang berkomunikasi. Ia juga dilarang untuk pulang ke rumahnys selama sebulan pertama di asrama. Aku bisa merasakan betapa terkekangnya dia. Ia hanya ingin membahagiakan orang tuanya sehingga ia menuruti apa yang orang tuanya minta meskipun tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Air mataku mulai menetes seiring dengan semakin larutnya aku dalam pembicaraan.
“Kau tahu, Nurul, aku belum menemukan sahabat sepertimu.”
Nurul tersenyum sambil mengusap air matanya yang masih menetes. “Dan aku pun begitu. Namun aku berharap posisimu sebagai sahabatku tidak akan pernah digantikan, selamanya.”
Aku sangat tersentuh akan perkataannya. Ia benar, aku tak perlu bersusah payah untuk mencari sahabat sepertinya. Karena, setiap orang punya posisi tersendiri bagi orang lain. Hatiku mulai tenang akan kegelisahanku tentang ‘menemukan sahabat baru’ di SMA.
“Hey, Rahma, pernahkah kau dihukum untuk menari di depan kelas?”
Aku tertawa kecil. “Dan itu terjadi kepadamu?”
“Kau harus percaya, bahwa aku menarikan tarian kesukaan kita di depan kelas.” Ia tertawa lepas. Aku masih bisa melihat sorot kesedihan di matanya, namun seperti ada kekuatan tersendiri yang membuatnya bisa terus bertahan.
Aku beranjak dari dudukku dan langsung menari Sorry, Sorry andalan kami. Ia ikut berjoget. Kami tidak memedulikan perhatian yang tertuju kepada kami. Kami terus, terus dan terus menari. Hal tersebut merupakana momen yang sangat menyenangkan.
Rasa letih mulai muncul. Kami masih terbahak-bahak melihat tingkah kami. Aku merasa hidup kembali. Sahabatku, ia adalah penyemangatku.
“Kali ini aku traktir,”
Kutinggalkan ia di meja pojok. Aku memesan beberapa menu untuk kami. Sekitar lima menit kemudian, aku kembali dengan membawa beberapa camilan.
Kami menghabiskan seluruh makanan dan minuman yang ada di meja dengan bersemangat. Aku tak menyangka masih bisa makan bersamanya, setelah beberapa minggu tidak bertemu dengannya. Ia tampak berseri-seri, entah apa yang membuatnya begitu, seperti ada hal yang ia sembunyikan. Tetapi perutku terlalu lapar untuk menanyakannya.
Aku melirik Nurul yang sedang melihat jam tangannya. “Inikah waktunya berpisah?”
Nurul hanya tersenyum kuat. “Terima kasih, Rahma. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikanmu sebagai sahabatku. Maukah kau beritahukan bagaimana caranya?”
Aku berpikir sejenak. “Dengan tetap menjadi sahabatku.”
Nurul menatapku hangat. “Terima kasih,” lirihnya.
Ia berlalu sambil melambaikan tangan. Aku membalasnya dengan hal yang sama. Berat rasanya untuk membiarkan ia kembali ke asrama. Namun inilah jalan yang harus kami ambil demi teraihnya impian kami.
Aku menghela napas pendek. Saat ini adalah giliranku untuk pergi. Aku menunggu jemputan di gerbang sekolah. Langit mulai sore. Kepulanganku ke rumah diselimuti senja yang menjelang.
Kini langit hitam telah muncul. Aku kembali teringat kenangan manisku tadi. Pikiranku langsung terpusat kepada apa yang Nurul lakukan saat aku meninggalkannya untuk memesan makanan. Aku melihatnya seperti memasukkan sesuatu ke dalam tasku. Dengan rasa penasaran, kubuka tasku dan kutemukan sepucuk surat yang tidak aku ketahui sebelumnya.

Dear Rahma,
Aku begitu bersyukur atas apa yang aku terima selama ini, termasuk kenyataan bahwa aku adalah sahabatmu, bukan? Kuharap akan seperti itu sampai kapan pun. Aku juga bersyukur karena kau telah hadir dalam hidupku, memberikan aku semangat serta kaulah orang yang mau mendengarkanku. Aku merasa bahwa aku adalah manusia paling beruntung di muka bumi ini.
Apakah kau merindukanku, Rahma? Aku tidak ingin mengetahui bahwa kau tidak merindukanku karena aku benar-benar merindukanmu. Bila benar kau merindukanku, maka lihatlah bulan yang bersinar dalam gelapnya malam dan aku juga akan melihatnya. Meskipun jarak memisahkan kita, namun kita masih bisa berbagi bulan yang sama.
Jangan lupakan aku, ya ….
Salam manis,
Nurul

Air mataku menetes saat membaca surat tersebut. Aku tidak tahu harus berucap apa. Kugenggam sehelai kertas tersebut dengan haru. Kusapukan pandangan ke langit malam. Ya, ada bulan yang setia menemani kegelapan. Aku terus memandanginya, berharap Nurul juga melakukan hal yang sama. Karena aku percaya bahwa kami sedang berbagi bulan yang sama.

 Cerpen karya Rahma Ayuningtyas Fachrunisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar